Silat Minang
Silat Minangkabau atau
disingkat dengan "Silat Minang" pada prinsipnya sebagai salah
kebudayaan khas yang diwariskan oleh nenek moyang Minangkabau sejak berada di
bumi Minangkabau.
Bila dikaji dengan seksama isi Tambo Alam Minangkabau yang penuh berisikan
kiasan berupa pepatah,petitih ataupun mamang adat, ternyata Silat Minang telah
memiliki dan dikembangkan oleh salah seorang penasehat Sultan Sri Maharaja
Diraja yang bernama "Datuk Suri Diraja" ; dipanggilkan dengan
"Ninik Datuk Suri Diraja" oleh anak-cucu sekarang.
Sultan Sri Maharaja Diraja, seorang raja di Kerajaan Pahariyangan ( dialek:
Pariangan ) . sebuah negeri (baca: nagari) yang pertama dibangun di kaki gunung
Merapi bahagian Tenggara pad abad XII ( tahun 1119 M ).
Sedangkan Ninik Datuk Suri Diraja , seorang tua yang banyak dan dalam ilmunya
di berbagai bidang kehidupan sosial. Beliau dikatakan juga sebagai seorang ahli
filsafat dan negarawan kerajaan di masa itu, serta pertama kalinya membangun
dasar-dasar adat Minangkabau; yang kemudian disempurnakan oleh Datuk Nan Baduo,
dikenal dengan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.
Ninik Datuk Suri Diraja itulah yang menciptakan bermacam-macam kesenian dan
alat-alatnya, seperti pencak, tari-tarian yang diangkatkan dari gerak-gerak
silat serta membuat talempong, gong, gendang, serunai, harbah, kecapi, dll (
I.Dt.Sangguno Dirajo, 1919:18)
Sebagai catatan disini, mengenai kebenaran isi Tambo yang dikatakan orang
mengandung 2% fakta dan 98 % mitologi hendaklah diikuti juga uraian Drs.MID.Jamal
dalam bukunya : "Menyigi Tambo Alam Minangkabau" (Studi perbandingan
sejarah) halaman 10.
Ninik Datuk Suri Diraja (dialek: Niniek Datuek Suri Dirajo) sebagai salah
seorang Cendekiawan yang dikatakan "lubuk akal, lautan budi" , tempat
orang berguru dan bertanya di masa itu; bahkan juga guru dari Sultan Sri
Maharaja Diraja. (I.Dt. Sangguno Durajo, 1919:22).
Beliau itu jugalah yang menciptakan bermacam-macam cara berpakaian, seperti
bermanik pada leher dan gelang pada kaki dan tangan serta berhias, bergombak
satu,empat, dsb.
Ninik Datuk Suri Dirajo (1097-1198) itupun, sebagai kakak ipar (Minang:
"Mamak Runah") dari Sultan Sri Maharaja Diraja ( 1101-1149 ), karena
adik beliau menjadi isteri pertama (Parama-Iswari) dari Raja Minangkabau tsb.
Oleh karena itu pula "Mamak kandung" dari Datuk Nan Baduo.
Pengawal-pengawal Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama Kucieng Siam, Harimau
Campo, Kambieng Utan, dan Anjieng Mualim menerima warisan ilmu silat sebahagian
besarnya dari Ninik Datuk Dirajo; meskipun kepandaian silat pusaka yang mereka
miliki dari negeri asal masing-masing sudah ada juga. Dalam hal ini dimaksudkan
bahwa keempat pengawal kerajaan itu pada mulanya berasal dari berbagai kawasan
yang berada di sekitar Tanah Basa (= Tanah Asal) , yaitu di sekitar lembah
Indus dahulunya.
Mereka merupakan keturunan dari pengawal-pengawal nenek moyang yang mula-mula
sekali menjejakkan kaki di kaki gunung Merapi. Nenek moyang yang pertama itu
bernama "DAPUNTA HYANG". ( Mid.Jamal, 1984:35).
Kucieng Siam, seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kucin-Cina (Siam);
Harimau Campo, seorang pengawal yang gagah perkasa, terambil dari kawasan Campa
; Kambieng Utan , seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kamboja, dan
Anjieng Mualim, seorang pengawal yang datang dari Persia/Gujarat.
Sehubungan dengan itu, kedudukan atau jabatan pengawalan sudah ada sejak nenek
moyang suku Minangkabau bermukim di daerah sekitar gunung Merapi di zaman
purba; sekurang-kurangnya dalam abad pertama setelah timbulnya kerajaan Melayu
di Sumatera Barat.
Pemberitaan tentang kehadiran nenek moyang (Dapunta Hyang) dimaksud telah
dipublikasikan dalam prasasti "Kedukan Bukit" tahun 683 M, yang
dikaitkan dengan keberangkatan Dapunta Hyang dengan balatentaranya dari gunung
Merapi melalui Muara Kampar atau Minang Tamwan ke Pulau Punjung / Sungai Dareh
untuk mendirikan sebuah kerajaan yang memenuhi niat perjalanan suci missi.
dimaksud untuk menyebarkan agama Budha. Di dalam perjalanan suci yang ditulis/
dikatakan dalam bahasa Melayu Kuno pada prasasti tsb dengan perkataan : "
Manalap Sidhayatra" (Bakar Hatta,1983:20), terkandung juga niat memenuhi
persyaratan mendirikan kerajaan dengan memperhitungkan faktor-faktor strategi
militer, politik dan ekonomi. Kedudukan kerajaan itupun tidak bertentangan
dengan kehendak kepercayaan/agama, karena di tepi Batanghari ditenukan sebuah
tempat yang memenuhi persyaratan pula untuk memuja atau mengadakan persembahan
kepada para dewata. Tempat itu, sebuah pulau yang dialiri sungai besar, yang
merupakan dua pertemuan yang dapat pula dinamakan "Minanga Tamwan"
atau "Minanga Kabwa".
Akhirnya pulau tempat bersemayam Dapunta Hyang yang menghadap ke Gunung Merapi
(pengganti Mahameru yaitu Himalaya) itu dinamakan Pulau Punjung (asal kata:
pujeu artinya puja). Sedangkan kerajaan yang didirikan itu disebut dengan
kerajaan Mianga Kabwa dibaca: Minangkabaw.
Asal usul Silat Minangkabau
Minangkabau secara resmi sebagai sebuah kerajaan pertama dinyatakan
terbentuknya dan berkedudukan di Pariangan, yakni di lereng Tenggara gunung
Merapi.
Di Pariangan itulah dibentuk dan berkembangnya kepribadian suku Minangkabau.
Pada hakikatnya kebudayaan Minangkabau bertumbuhnya di Pariangan; bukan di
Pulau Punjung dan bukan pula di daerah sekitar sungai Kampar Kiri dan Kampar
kanan.
Bila orang mengatakan Tambo Minangkabau itu isinya dongeng itu adalah hak
mereka, meski kita tidak sependapat. Suatu dongeng, merupakan cerita-cerita
kosong. akan tetapi jika dikatakan Tambo Minangkabau itu Mitologis, hal itu
sangat beralasan, karena masih berada dalam lingkungan ilmu, yaitu terdapatnya
kata "Logy". Hanya saja pembuktian mitology berdasarkan keyakinan,
yang dapat dipahami oleh mereka yang ahli pula dalam bidang ilmu tersebut. Ilmu
tentang mitos memang dewasa ini sudah ditinggalkan, karena banyak obyeknya
bukan material; melainkan "SPIRITUAL". walaupun demikian, setiap
orang tentu mempunyai alat ukur dan penilai suatu "kebenaran" ,
sesuai dengan keyakinan masing-masing. Apakah sesuatu yang dimilikinya
ditetapkan secara obyektif, misalnya ilmu sejarah dengan segala benda-benda
sebagai bukti yang obyektif dan benar; sudah barang tentu pula mitologi juga
mempunyai bukti-bukti yang obyektif bagi yang mampu melihatnya. Bukti-bukti
sejarah dapat diamati oleh mata lahir, sedangkan mitologi dapat diawasi oleh
mata batin. Contoh: Pelangi dapat dilihat oleh mata lahir, sedangkan sinar
aureel hanya bisa dilihat oleh mata batin. demikian juga bakteri yang
sekecil-kecilnya dapat dilihat oleh mata lahir melalui mikroskop, akan tetapi
"teluh" tidak dapat dilihat sekalipun dengan mikroskop; hanya dapat
dilihat oleh mata batin melalui "makrifat".
Karenanya mengukur dan menilai Tambo tidak akan pernah ditimbang dengan ilmu
sejarah dan tak akan pula pernah tercapai. Justeru karena itu mengukur Tambo
dan sekaligus menilainya hanya dengan alat yang tersendiri pula, yaitu dengan
keyakinan yang berdasarkan kenyataan yang tidak dapat didustakan oleh setiap
pendukung kebudayaan Minangkabau.
Dalam hubungan ini diyakini, bahwa para pengawal kerajaan sebagaimana halnya
raja itu sendiri, yang kehadirannya sebagai keturunan dari keluarga istana
kerajaan Minangkabau di Pulau Punjung/Sungai Dareh. Kedatangan mereka ke
Pariangan setelah kerajaan itu mengalami perpecahan, yaitu terjadinya revolusi
istana dengan terbunuhnya nenek moyang mereka, bernama Raja Indrawarman tahun
730 M, karena campur tangan politik Cina T`ang yang menganut agama Budha. Raja
Indrawarman yang menggantikan ayahanda Sri Maharaja Lokita Warman (718 M)
"sudah menganut agama Islam". Dan hal itu menyebabkan Cina T`ang
merasa dirugikan oleh "hubungan Raja Minangkabau dengan Bani Umayyah"
(MID.Jamal, 1984:60-61). Karena itu keturunan para pengawal kerajaan
Minangkabau dari Pariangan tidak lagi secara murni mewarisi silat yang terbawa
dari sumber asal semula, akan tetapi merupakan kepandaian pusaka turun temurun.
Ilmu silat itu sudah mengalami adaptasi mutlak dengan lingkungan alam
Minangkabau. Apalagi sebahagian besar pengaruh ajaran Ninik Datuk Suri Diraja
yang mengajarkan silat kepada keturunan para pengawal tersebut mengakibatkan
timbulnya perpaduan antara silat-silat pusaka yang mereka terima dari nene
moyang masing-masing dengan ilmu silat ciptaan Ninik Datuk Suri Dirajo. Dengan
perkataan lain, meskipun setiap pengawal , misalnya "Kucieng Siam"
memiliki ilmu silat Siam yang diterima sebagai warisan, setelah kemudian
mempelajari ilmu silat Ninik Datuk Suri Diraja. maka akhirnya ilmu silat
Kucieng Siam berbentuk paduan atau merupakan hasil pengolahan silat, yang
bentuknyapun jadi baru. Begitu pula bagi diri pengawal-pengawal lain; semuanya
merupakan hasil ajaran Ninik Datuk Suri Diraja.
Ninik Datuk Suri Diraja telah memformulasi dan menyeragamkan ilmu silat yang
berisikan sistem, metode dll bagi silat Minang, yaitu " Langkah Tigo
" , " Langkah Ampek " , dan " Langkah Sembilan ".
Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu silat yang berbentuk lahiriyah saja,
melainkan ilmu silat yang bersifat batiniyah pun diturunkan kepada murid-murid,
agar mutu silat mempunyai bobot yang dikehendaki dan tambahan lagi setiap
pengawal akan menjadi seorang yang sakti mendraguna, dan berwibawa.
Dalam Tambo dinyatakan juga, bahwa Ninik Datuk Suridiraja memiliki juga
"kepandaian batiniyah yang disebut GAYUENG". (I.Dt Sangguno Dirajo,
1919:22)
1. Gayueng Lahir , yaitu suatu ilmu silat untuk dipakai menyerang lawan dengan
menggunakan empu jari kaki dengan tiga macam sasaran :
a. Di sekitar leher, yaitu jakun/halkum dan tenggorokan.
b. Di sekitar lipatan perut, yaitu hulu hati dan pusar.
c. Di sekitar selangkang, yaitu kemaluan
Ketiga sasaran empuk itu dinamakan sasaran " Sajangka dua jari " .
2. Gayueng angin, yakni menyerang lawan dengan menggunakan tenaga batin melalui
cara bersalaman, jentikan atau senggolan telunjuk. sasarannya ialah jeroan yang
terdiri atas rangkai jantung, rangkai hati, dan rangkai limpa.
Ilmu Gayueng yang dimiliki Ninik Datuk Suri Diraja yang disebut
"Gayueng" dalam Tambo itu ialah Gyueng jenis yang kedua, yaitu
gayueng angin. Kepandaian silat dengan gayueng angin itu tanpa menggunakan
peralatan. Jika penggunaan tenaga batin itu dengan memakai peralatan, maka ada
bermacam jenisnya, yaitu :
1. Juhueng, yang di Jawa disebut sebagai Teluh, dengan alat2 semacam paku dan
jarum, pisau kecil dll.
2. Parmayo, benda2 pipih dari besi yang mudah dilayangkan.
3. Sewai, sejenis boneka yang ditikam berulangkali
4. Tinggam, seperti Sewai juga, tetapi alat tikamnya dibenamkan pada boneka
Kepandaian Silat menggunakan tenaga batin yang sudah disebutkan diatas, sampai
sekarang masih disimpan oleh kalangan pesilat; terutama pesilat-pesilat tua.
Ilmu tersebut disebut sebagai istilah " PANARUHAN " atau simpanan.
Karena ilmu silat sebagai ilmu beladiri dan seni adalah ciptaan Ninik Datuk
Suri Diraja, maka bila dipelajari harus menurut tata cara adat yang berlaku di
medan persilatan. tata cara adat yang berlaku itu disebutkan dalam pepatah
Minang : " Syarat-syarat yang dipaturun-panaikan manuruik alue jo
patuik" diberikan kepada Sang Guru.
A. PENDIDIKAN SILAT DI MINANGKABAU
Bahan baku silat ialah gerak. Arti gerak dalam silat merupakan kombinasi pengertian
dari segala macam ilmu pengetahuan manusia, baik sasaran lahiriah maupun
batiniah
dst..... ( maaf tidak dilanjut, semakin kental dgn batiniahnya)
B. PENYEBARAN SILAT MINANGKABAU
Dimasa itu terkenal empat angkatan barisan pertahanan dan keamanan di bawah
pimpinan Kucieng Siam, Harimau Campo, Kambieng Hutan, dan Anjieng Mualim; ke
empatnya merupakan murid-murid Ninik Datuk Suri Dirajo.
Sewaktu Datuk Nan Batigo membentuk Luhak Nan Tigo (1186 M ) dan membuka tanah
Rantau (mula-mula didirikan Kerajaan Sungai Pagu 1245 M, ketika itu Raja Alam
Pagaruyung, ialah Rum Pitualo, cicit dari Putri Jamilah atau kemenakan cicit
dari Datuk Ketumanggungan), maka para pemimpin rombongan yang pindah membawa
penduduk, adalah anggota pilihan dari barisan pertahanan dan keamanan kerajaan.
1. Untuk rombongan ke Luhak Tanah Datar, pimpinan rombongan ialah anggota
barisan Kucieng Siam.
2. Untuk rombongan ke Luhak Agam, dipimpin oleh barisan Harimau Campo.
3. Untuk rombongan ke Luhak Limapuluh-Payakumbuh, dipimpin oleh anggota barisan
Kambieng Hutan.
4. Untuk rombongan ke Tanah Rantau dan Pesisir dipimpin oleh anggota barisan
Anjieng Mualim.
Setiap angkatan/barisan atau pasukan telah memiliki ilmu silat yang dibawa dari
Pariangan. Dengan ilmu silat yang dimiliki masing-masing angkatan, ditentukan
fungsi dan tugas-tugasnya, pemberian dan penentuan fungsi/tugas oleh Sultan Sri
Maharaja Diraja berdasarkan ketentuan yang telah diwariskan oleh nenek moyang
di masa mendatangi Swarna Dwipa ini dahulunya
Fungsi dan tugas yang dipikul masing-masing rombongan itu diperjelas sbb:
1. Barisan pengawal kerajaan , Anjieng Mualim berfungsi sebagai penjaga
keamanan
2. Barisan Perusak, Kambieng Hutan berfungsi sebagai destroyer atau zeni
3. Barisan Pemburu, Harimau Campo berfungsi sebagai Jaguar atau pemburu
4. Barisan Penyelamat, Kucieng Siam berfungsi sebagai anti huru-hara.
1. Aliran Silat Kucieng Siam:
Sekarang nama Kucieng Siam menjadi lambang daerah Luhak Tanah Datar....
Bentuk dan sifat silat negeri asal Kucin Cina-Siam :
peranan kaki (tendangan) menjadi ciri khasnya. Tangan berfungsi megalihkan
perhatian lawan serta memperlemah daya tahan lawan.
2. Aliran Silat Harimau Campo:
Lambang Harimau Campo diberikan kepada Luhak Agam.
Bentuk dan sifat gerakannya:
ialah menyerupai seperti sifat harimau, keras, menyerang tanpa kesabaran alias
langsung menerkam. mengandalkan kekuatannya pada tangan.
3. Aliran silat Kambieng Hutan :
Luhak Limapuluh-Payokumbuh mendapatkan lambang tersebut.
Bentuk dan sifat gerakannya:
banyak menampilkan gerak tipu, selain menggunakan tangan juga disertai dengan
sundulan/dorongan menggunakan kepala dan kepitan kaki.
4. Aliran Silat Anjieng Mualim :
diberikan kepada Tanah Rantau-Pesisir adalah daerah-daerah di sekitar
lembah-lembah sungai dan anak sungai dari pegunungan Bukit Barisan.
Bentuk dan sifat gerakannya:
a. bentuk penyerangan dengan membuat lingkaran
b. bentuk pertahanan dengan tetap berada dalam lingkaran.
bentuk-bentuk gerakan ini menimbulkan gerak-gerak yang menjurus kepada empat
penjuru angin, sehingga dinamakan jurus atau "langkah Empat".
dari sinilah permulaan Langkah Ampek dibentuk oleh Ninik Datuk Suri Diraja.
jadi silat Minang mempunyai dua macam persilatan yang menjadi inti yang khas:
Langkah Tigo ( Kucieng Siam ) dan Langkah Ampek ( Anjieng Mualim ).
kemudian selanjutnya langkah tersebut berkembang menjadi Langkah Sembilan.
Langkah Sembilan selanjutnya tidak lagi disebut sebagai SILAT, namun sudah
berubah dengan nama PENCAK (Mencak)
.... dst...
SILAT LANGKAH TIGO
Silat Langkah Tigo ( langkah tiga ) pada asalnya milik Kucieng Siam, Harimau
Campo, dan Kambieng Hutan; yang secara geografis berasal dari daratan Asia
Tenggara. Akan tetapi setelah berada di Minangkabau disesuaikan dengan
kepribadian yang diwarnai pandangan hidup, yaitu agama Islam.
Di masa itu agama Islam belum lagi secara murni di amalkan, karena pengaruh
kepercayaan lama dan pelbagai filsafat yang dianut belum terkikis habis dalam
diri mereka.
Namun dalam ilmu silat pusaka yang berbentuk Langkah Tigo dan juga dinamakan
Silek Tuo, mulai disempurnakan dengan mengisikan pengkajian faham dari berbagai
aliran Islam.
Memperturunkan ilmu silat tidak boleh sembarangan. Faham Al Hulul / Wihdatul
Wujud memegang peranan, terutama dalam pengisian kebatinan ( silat batin ).
Tarekat ( metode ) pendidikan Al Hallaj yang diwarnai unsur-unsur filsafat
pythagoras yang bersifat mistik menjadi pegangan bagi guru-guru silat untuk
tidak mau menurunkan ilmu silat kepada sembarangan orang.
Angka 3 sebagai "hakikat" menjadi rahasia dan harus disimpan. Untuk
menjamin kerahasiaannya, maka ilmu silat tidak pernah dibukukan. Dalam
pengalaman dan penelitian yang dilakukan kenyataan menunjukkan, bahwa amanat
" suatu pengkajian yang bersifat rahasia " itu sampai kini masih
berlaku bagi orang tua-tua Minangkabau.
kalau sekarang, rahasia itu dinyatakan dalam berbagai dalih, misalnya :
a. akan menimbulkan pertentangan nantinya dengan ajaran yang dianut oleh
masyarakat awam.
b. akan mendatangkan bahaya sebagai akibat " Tasaluek dek kaji " ,
seperti: gila.
c. dan sebagainya.
Dalam hubungan ini penulis sendiri ( yakni bpk Mid.Jamal ) , kurang sependapat
dengan alasan orang tua-tua yang kita mulyakan itu, mengingat kian langkanya
pusaka budaya itu. Masalah adanya perbedaan kaji dengan masyarakat awam
bukanlah alasan yang rumit.
semata-mata untuk kepentingan ilmu juga maka dalam tulisan ini mencoba bukakan
sekelumit rahasia budaya pusaka dari nenek moyang kita, agar jangan sampai
punah secara total.
Langkah Tigo dalam silat Minang, didalamnya terdapat gerak-gerak yang sempurna
untuk menghadapi segala kemungkinan yang dilakukan lawan. Perhitungan angka
tiga disejalankan dengan wirid dan latihan, inipun tidak semua orang dapat
memahami dan mengamalkannya karena mistik.
Kaifiat atau pelaksanaannya dilakukan secara konsentrasi sewaktu membuat
langkah tigo. setiap langkah ditekankan pada " Alif, Dal, Mim "
Tagak Alif, Pitunggue Adam, Langkah Muhammad
Tagak Alif :
Tegak Allah, Kuda-kuda bagi Adam, Kelit dari Muhammad, Tangkapan oleh Ali, dan
tendangan beserta Malaikat. ( sandi kunci bergerak )
SILAT LANGKAH AMPEK
Pembentukan Silat Langkah Ampek oleh Ninik Datuk Suri Diraja di Pariangan
serentak dengan Silat Langkah Tigo. Silat Langkah Ampek, berasal dari
gerak-gerak silat Anjieng Mualim dan pengawasannya turun temurun juga
diserahkan pada Harimau Campo, yang dapat menjelma bila disalahi membawakannya.
Oleh karena si penciptanya telah menyeragamkan bentuk dan metode serta
pengisiannya. maka silat Langkah Ampek pun dimulai dengan Tagak Alif.
Perbedaannya terletak pada perhitungan angka yaitu 4, sebagai angka istimewa
(ingat mistik Pythagoras). Walaupun bersifat mistik dan sukar dipahami bagi
awam, namun bagi Pesilat sangat diyakini kebenarannya.
Sewaktu membuka Langkah Ampek dilakukan konsentrasi pada Alif, Lam, Lam, Hu.
dst.....
Langkah Sembilan
Perhitungan langkah dalam Silat Minang yang terakhir adalah sembilan. Dari mana
datangnya angka sembilan. Dalam pengkajian silat dinyatakan sebagai berikut:
Langkah 3 + Langkah 4 = langkah 7. Itu baru perhitungan batang atau tonggaknya.
Penambahan 2 langkah adalah :
-Tagak Alif gantung dengan penekanan pada " Illa Hu " ini diartikan
satu langkah.
-Mim Tasydid dalam kesatuan Allah dan Muhammad, gerak batin yang menentukan,
berarti satu langkah.
Menurut faham Al Hulul bahwa apabila yang Hakikat menyatakan dirinya atau
memancarkan sinarnya dalam realitasNya yang penuh; itulah keindahan.
Pesilat itu adalah seniman dan seorang seniman adalah orang yang tajam dan
tilik pandangannya, yang dapat melihat keindahan Ilahi dalam dirinya.
(Gazalba,IV/1973:527)
Silat Langkah sembilan biasanya dibawakan sebagai "Pencak"
(Minangkabau: Mencak), artinya : Menari. Dalam kata majemuk
"Pencak-Silat" dimaksudkan "Tari Silat".
Langkah Sembilan memperlihatkan pengembangan gerak-gerak ritmis, dengan tidak
meninggalkan unsur-unsur gerak silat.